Sunday, 25 August 2024

Penghambat Itu Bernama Luka Batin

Entah ini kutukan atau Nasib yang memang sudah digariskan. Perasaan yang menyakitkan itu ternyata sulit sekali untuk disembuhkan. Sebuah perasaan menyakitkan yang pernah aku alami saat masih kecil. Orang biasa menyebutnya sebagai luka batin.

Sampai akhirnya aku menyadari bahwa memaafkan orang lain ternyata lebih mudah dibandingkan memaafkan diri sendiri. Sudah lebih dari 20 tahunan aku memiliki perasaan yang menyakitkan tersebut, Jadi seharusnya luka batin itu sudah mengering dan dilupakan.

Karna memang kita tidak hidup dimasa lalu, Tetapi entah kenapa luka itu sering kali muncul lagi dan lagi. Sekali lagi aku bertanya pada diriku sendiri, Apakah ini adalah kutukan atau memang Nasib yang sudah digariskan.

Terkadang Kangen Pantai Hanya Untuk Bengong

Biarpun peristiwa yang menyakitkan itu sudah berlalu hingga 20 tahunan, Tetapi entah kenapa perasaan yang menyakitkan tersebut terasa seperti baru. Bagaikan luka yang akan sembuh tetapi tidak bisa mengering.

Hingga pada akhirnya luka itu Kembali menganga, Dan ini terjadi berulang kali selama puluhan tahun dengan pola yang berbeda - beda. Sungguh luka batin ini sangat amat menganggu perasaan dan pikiranku.

Masa Kecil Yang Bahagia Dengan Tanggung Jawab Yang Besar

Aku terlahir kedunia ini dari keluarga yang biasa – biasa saja. Tidak kaya, Tetapi juga tidak miskin. Penghasilan ayahku cukup untuk kebutuhan sehari – hari keluargaku. Dan aku sendiri adalah anak pertama dan laki – laki satu – satunya.

Dari sini sudah sangat jelas betapa besar tanggung jawab yang akan aku pikul dimasa yang akan datang. Meskipun begitu aku menikmati masa – masa kecilku dengan bahagia. Alhamdulillah aku terlahir kedunia ini dengan berbagai macam talenta, Dan sejak kecil aku sudah bisa membuktikan hal tersebut.

Aku ingat ayahku bercerita bahwa aku sudah bisa berjalan diusiaku yang masih 9 bulan. Usia yang seharusnya belum bisa berjalan, Tetapi aku sudah bisa melakukannya. Dan ketika usiaku sudah 1 tahun 2 bulan, Aku sudah bisa ikut lari pagi bersama ayahku.

Ayahku juga bercerita bahwa aku sangat menyukai hati ayam, Dan ibuku menyiapkan makanan itu setiap pagi hari.  Ayahku percaya bahwa dimasa yang akan datang aku akan menjadi orang besar. Jujur aku selalu bersyukur dengan masa kecilku.

Tetapi ternyata masa – masa bahagia itu tidak berlangsung lama. Dan semua berubah ketika adikku terlahir setahun setelah kelahiranku. Dan inilah awal malapetaka bagi diriku yang saat itu masih sangat kecil dan belum mengerti apapun.

Kelahiran Yang Tidak Diharapkan

Terus terang aku sendiri sebenarnya tidak ingin memiliki adik, Atau setidaknya jarak umurnya tidak sedekat ini. Kelahirannya membuat perhatian orang tua ku terbelah menjadi 2. Bahkan tidak ada perhatian lagi untuk diriku yang masih kecil ini.

Walaupun ada tentu saja itu tidak seberapa, Adikku yang berjenis kelamin Perempuan ini tentu saja membutuhkan perhatian khusus. Dimasa – masa inilah aku mulai kurang diperhatikan oleh kedua orang tuaku serta keluarga besarku.

Hari ke hari, bulan ke bulan, tahun ke tahun, aku melewatinya dengan sabar karna perhatian orang tua yang menurutku sangat kurang. Ibuku pernah bercerita kalo ada suatu fase Dimana aku tidak mau makan sama sekali.

Tubuhku yang tadinya gemuk dan sehat berubah menjadi kurus dan kecil. Aku tidak ingat kapan itu terjadi, Tetapi yang pasti itu terjadi ketika ibuku sedang mengandung adikku. Entah itu memang normal atau memang respon alami dari diriku yang ingin mencari perhatian ibuku.

Karna dengan melakukan mogok makan maka orang tua biasanya mencari cara agar aku mau bersedia makan. Bisa dibilang itulah caraku agar mendapatkan perhatian dari orang tua ku yang sebentar lagi sulit untuk aku dapatkan.

Adikku Adalah Rival Yang Harus Dihancurkan

Aku ingat Bagaimana saudara – saudara memperlakukan adikku saat sedang menangis. Mereka memberikannya permen yang sebenarnya aku inginkan. Dan akupun meniru adikku dengan ikut menangis, Tetapi yang aku dapatkan adalah disuruh untuk tidur.

Karna masih kecil jadi cara berfikirku sangat sederhana, Disitu aku hanya berfikir kenapa mereka tidak memberikan aku permen seperti adikku ?. Apakah karna cara menangisku yang salah ? Apakah cara menangisku kurang kencang dan bertenaga ?.

Pertanyaan – pertanyaan itu mengalir dalam pikiranku, Intinya hal – hal serupa sering kali terjadi dalam hidupku ketika aku sedang bersama adikku. Orang – orang disekitar hanya akan memperhatikan adikku tanpa memperdulikan keberadaanku yang sebenarnya juga ada disampingnya.

Sementara bila aku sedang sendirian mereka akan menanyakan keberadaan adikku. Bila aku menjawab tidak tahu, Maka mereka biasanya akan menghardikku dengan menilaiku sebagai kakak yang tidak bertanggung jawab.

Mulai dari situ aku mulai timbul perasaan benci pada adikku sendiri, Dan mulai menganggap dia adalah seorang pesaing, Bukan seorang saudara sekandung yang harus aku lindungi. Bukan hanya pesaing, Tetapi lebih kepada kompetitor yang harus dikalahkan.

Dan dalam pergaulan pun sama, Aku tidak akan sudi bila harus bermain bersama teman dan adikku. Aku selalu mengajak temanku untuk bermain bersama diluar jangkauan adikku. Bila adikku memaksa, Maka aku akan berusaha menjegalnya dengan cara apapun.

Seperti memprovokasi temanku agar membenci adikku atau bermain sesuatu hal yang membuat adikku tidak nyaman. Tidak peduli temanku itu laki – laki atau Perempuan, Aku sangat tidak senang bila harus bermain dengan teman dan adikku secara bersamaan.

Intinya, Saat itu adikku sama sekali bukanlah sebuah prioritas bagiku. Walaupun ibu dan ayahku selalu berulang kali mengingatkan untuk menjaga adikku. Adikku pun memahami perasaanku yang sangat membencinya.

Tentu dia pun melakukan perlawanan dengan cara yang sama denganku. Mulai dari memprovokasi temanku agar membenci diriku, hingga menangis dihadapan orang tua karna tidak diajak main. Sekaligus bersikap seolah dia adalah pihak yang paling tersakiti.

Tentu ini sikap yang menurutku normal dan tidak salah. Sangat wajar bila manusia mencari tempat aman saat sedang terancam. Dan peristia – peristiwa ini sering sekali terjadi, Hingga menjadi sebuah hal yang wajar.

Dampak Dari Kebencian Tersebut

Setelah beranjak dewasa aku pun menyadari bahwa sikapku kepada adikku sangatlah jahat dan tidak seharusnya seorang kakak memperlakukan adiknya seperti itu. Sebenci apapun dirimu kepada adikmu dia tetaplah adikmu.

Terlahir dari Rahim yang sama dan ibu yang sama. Tetapi kebencian dan perseteruan yang sudah berlangsung bertahun – tahun ini ternyata sulit untuk diperbaiki. Hingga akhirnya aku memilih untuk menutup mata dan membiarkan masalah ini.

Seiring berjalannya waktu, Aku dan adikku seperti orang yang tidak saling mengenal satu sama lain. Tidak pernah mengobrol, diskusi, atau bercanda seperti layaknya saudara kandung. Ibuku sempat menanyakan hal ini kepada ku.

Tetapi aku lebih memilih mengabaikannya, Karna aku sendiri juga enggan memperbaiki hal tersebut. Karna memang keberadaanku sering kali diabaikan ketika sedang bersama dirinya. Hal itulah membuatku enggan untuk memperbaikinya.

Rasa Penyesalan Yang Mendalam

Sebenarnya dalam hati ini aku sangat menyesal sudah berperilaku buruk pada adikku sendiri. Tetapi keadaan saat itu benar – benar memaksaku untuk melakukan hal tersebut. Dimana saat itu dia mencuri kasih sayang kedua orang tua dari ku.

Dan perilaku orang – orang disekitarku yang memperhatikannya lalu mengabaikan keberadaanku. Tentu adikku tidak salah dalam hal ini, Karna dia sendiri juga masih terlalu kecil untuk mengerti apa itu berbagi dan kasih sayang.

Intinya hingga hari ini aku sama sekali tidak dekat dengan adikku dan tidak ada yang berubah. Kami seperti orang yang tidak saling mengenal. Tetapi sebagai permintaan maaf ku karna sudah berperilaku buruk dimasa kecil.

Aku selalu menaruh perhatian dan kasih sayang kepada anak – anak dari adikku. Setiap aku bertemu dengan anak – anaknya, Aku selalu bercanda dan tertawa bersama – sama. Tidak pernah aku memarahinya walaupun sedang kesal.